Pembiayaan kepemilikan sepeda motor di perdesaan oleh perusahaan pembiayaan dinilai tidak memerhatikan kemampuan bayar calon nasabah yang mengakibatkan terjadinya gagal bayar.

Koordinator Forum Transportasi Pedesaan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Arif Wismadi mengatakan sejumlah perusahaan pembiayaan tidak melakukan penilaian terhadap kemampuan bayar calon nasabah dalam memberikan kredit. Hal ini berpotensi kepada gagalnya pembayaran cicilan secara keseluruhan.

Data MTI menyebutkan kepemilikan sepeda motor di perdesaan akan terus meningkat dibandingkan dengan jumlah kepemilikan di kota yang relatif stagnan. Rata-rata pertumbuhan sekitar 6,2% (1997) dan melonjak menjadi 11,8% (2002) atau lebih tinggi dari perkotaan yang tetap berada di level 6%.

“Namun, assessment tidak dilakukan. Perusahaan pembiayaan hanya memerlukan KTP [kartu tanda penduduk], dan kemampuannya tidak diperhatikan. Ini dilakukan untuk peningkatan penjualan,” ujar Arif saat dihubungi Bisnis di Jakarta, pekan lalu.

Menurut dia, perusahaan pembiayaan akan menarik sepeda motor dan dijual kembali melalui pelelangan ketika konsumen tak mampu lagi menyicil.

Dalam hal ini, paparnya, konsumen dirugikan karena pihaknya telah membayar uang muka (down payment) tetapi tidak dapat menggunakan sepeda motor lebih lama.

Ekspansi industri pembiayaan, lanjutnya, juga berpotensi mendorong kebutuhan konsumtif masyarakat perdesaan padahal tidak memiliki kemampuan untuk membayar cicilan. Menurut dia, hal tersebut berpotensi menyebabkan terjadinya kemiskinan karena penggunaan itu bertujuan konsumsi.

“Penggunaan sepeda motor itu untuk konsumsi, tidak untuk produksi dan menghasilkan sesuatu. Pemiskinan itu terjadi karena mereka tidak mampu membayar dan penggunaannya konsumtif,” tegasnya
Arif menyebutkan salah satu wilayah yang dimaksud adalah di Magelang, Jawa Tengah. Namun, dia menolak untuk menyebutkan nama perusahaan pembiayaan yang tidak memerhatikan kemampuan bayar konsumennya itu.

Bapepam-LK mencatat Pulau Jawa menyumbang sekitar 68,34% untuk pembiayaan konsumen.

Sumber: Bisnis Indonesia, 28 Januari 2008 [ link ]

Sampai saat ini pemerintah masih mementingkan pembangunan di wilayah perkotaan. Akibatnya, wilayah-wilayah pedesaan tidak terurus maksimal. Itu terlihat dari banyaknya jalan di desa yang diabaikan, padahal rusak berat.

Demikian Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) dalam release- nya yang diterima Pos Kupang, Selasa (22/1/2008). Release itu ditandatangani Sekretaris Jenderal MTI, Danang Parikesit.

Dituliskan, lebih dari 50 persen jalan di Indonesia, kini rusak parah. Namun pemerintah daerah maupun pusat tak menanggapi serius. Dalam catatan MTI, terdapat 121.000 km jalan kabupaten atau kota yang melayani wilayah pedesaan dalam kondisi rusak. Kerusakan ini sebagai salah satu penghambat investasi di wilayah pedesaan.

Menurut Parikesit, perhatian pemerintah terhadap upaya perbaikan jalan maupun pemeliharaannya masih sangat minim. “Dana investasi yang disediakan masih kurang,” ujarnya dalam pemaparan proyeksi transportasi 2008 di Jakarta, siang kemarin.

Dia menjelaskan, rata-rata investasi yang disiapkan pemerintah untuk infrastruktur pedesaan dalam satu tahun, hanya sekitar Rp 3-4 triliun. Angka ini, jelasnya, kurang sekali kalau dikaitkan dengan kebutuhan.
Lebih jauh dia menjelaskan, tersendatnya akses jalan menuju pedesaan, secara langsung mengganggu proses distribusi, khususnya komoditas pertanian yang banyak bermuara di pedesaan. Akibatnya, lanjut Danang, terjadi lonjakan harga komoditas dan pada akhirnya mengurangi daya saing produk tersebut di tingkat nasional dan internasional.

“Kalau tidak ada upaya yang konkrit untuk mendorong alokasi lebih besar untuk perbaikan dan pemeliharaan jalan di pedesaan, maka jangan harap harga komoditas yang dihasilkan petani bisa bersaing,” kritiknya.

Pada kesempatan yang sama, koordinator forum transportasi pedesaan MTI, Arif Wismadi menambahkan, insiatif untuk memperlancar akses ke pedesaan, tidak musti datang dari pemerintah. Masyarakat diharapkan ikut berpartisipasi aktif pada perbaikan dan pemeliharaan jalan itu.

Arif mencontohkan, di Bangladesh, sistem partisipasi masyarakat sudah berjalan, dimana setiap satu kilometer ada satu orang yang bertanggung jawab atas kondisi jalan tersebut. “Sekarang kondisi jalan pedesaan Bangladesh menjadi sangat bagus, padahal mereka termasuk negara miskin,” ujarnya.

Menanggapi hal itu, Koordinator Forum Keselamatan Transportasi MTI, Heru Sutomo pesimistis akan tingkat keselamatan di tahun 2008 menjadi lebih baik dari tahun 2007. Soalnya, tidak ada perubahan yang signifikan yang akan dilaksanakan dalam tahun anggaran ini.

Sumber: Pos Kupang, 23 Januari 2008 [ link ]

JIKA ditilik lebih seksama, iklan sepeda motor yang beruntun di televisi menonjolkan satu pesan: motor siapa paling cepat. Misalnya, kehebatan atau kecepatan motor yang sampai bisa merubuhkan sebuah jembatan. Promosi sepeda motor semacam ini dianggap menyesatkan.

Seolah-oleh tak soal mengendarai motor dengan kecepatan ekstra alias kebut-kebutan. Produsen motor membentuk citra bahwa mengebut di jalanan oke-oke saja asalkan menggunakan produk buatan perusahaan itu.

Menurut Koordinator Forum Transportasi Perdesaan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Arif Wismadi, iklan-iklan sepeda motor yang gentayangan saban hari di layar kaca itu justru menjadi referensi peningkatan kecelakaan lalu lintas. “Iklan seperti itu sangat tidak mendidik. Seharusnya mereka mengajarkan masyarakat berkendaraan yang aman. Mereka malah mendidik orang mengendarai motor ugal-ugalan,” kata Arif.

Padahal menurutnya, puluhan tahun lalu industri otomotif justru mengingatkan cara berkendaraan yang aman kepada pengguna produknya. “Dulu di setang sepeda motor pasti akan ada tulisan yang mengingatkan pengendara motor untuk menggunakan helm. Padahal ketika itu belum keluar aturan yang mewajibkan pengendara motor memakai pelindung kepala,” tutur Arif lagi.

Rayuan tenaga pemasar juga tak kalah maut. Mereka berjanji memberikan berbagai keringanan dan kemudahan kepada calon pembeli. Namun tidak melengkapi penjelasan tentang konsekuensi yang harus ditanggung calon pembeli bila tidak mampu membayar cicilan kredit.

Keluhan seperti inilah yang belakangan banyak masuk di Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Kepada YLKI, banyak orang mengeluh karena motor mereka diambil karena terlambat membayar cicilan, padahal sebagian cicilannya telah dibayar.

Bila terlambat membayar kredit, pihak perusahaan tak segan mengancam akan mengambil motor itu. Bila tidak mau diambil, pembeli harus melunasi semua tanggungan secara penuh dengan tenggat waktu sangat singkat. “Dalam kondisi terjepit seperti ini, seseorang tidak memiliki kekuatan, sementara perusahaan dengan tega mengambil motor tersebut,” kata staf bidang hukum dan pengaduan YLKI Karunia Asih Rahayu.

Saat proses pengambilan motor, perusahaan juga masih meminta biaya penarikan yang jumlahnya sedikit. Ujung-ujungnya, konsumen malah menerima kerugian beruntun. Motor hilang, uang muka dan biaya kredit yang telah diangsur pun hangus tanpa wekas.

Semestinya perusahaan menginformasikan dan mengingatkan pembeli motor soal tagihan yang belum dilunasi sekurang-kurangnya tiga bulan sebelumnya. Tetapi kenyataan di lapangan, perusahaan datang mengambil motor tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.

“Seperti sebuah kesengajaan, mereka memberitahu di last minute. Seolah-olah konsumen memang dibiarkan telat membayar cicilan agar ada pihak yang diuntungkan,” kata dia lagi. Menurut Karunia, kasus-kasus seperti itu terus berulang dan semakin sering terjadi dari hari ke hari. Permasalahan semacam ini tidak pernah usai karena hampir setiap hari, pasti ada orang yang mengambil kredit motor.

“Ini seperti lingkaran setan,” kata Karunia lagi. Menurutnya, salah satu penyebab perkara ini adalah perusahaan tidak memberikan informasi yang lengkap dan transparan kepada calon pembeli. Kerap pula mereka tidak memberikan kesempatan kepada pembeli membaca klausul-klausul perjanjian secara detil.

“Mereka baru membaca sekilas isi perjanjian, lalu segera diminta tanda tangan perjanjian,”kata Rahayu. Fenomena ini terjadi juga karena masyarakat begitu mudah melakukan transaksi pembelian motor tanpa melalui urusan berbelit dan modal besar. Skema penjualan ini didukung oleh aktivitas perusahaan pembiayaan konsumen atau leasing.

Agar lebih mudah menjajakan produknya, industri sepeda motor memang gencar mencari leasing yang mau memasarkan motor buatannya. Leasing-leasing ini diberi berbagai paket kemudahan dari industri, meski sebenarnya perusahaan itu tidak kredibel. Oleh karena itu jangan heran bila hari-hari belakangan begitu banyak perusahaan leasing berdiri.

Hal ini terjadi karena tidak begitu sulit mendirikan perusahaan leasing. Karunia bahkan berani mengatakan bahwa pemerintah sangat mudah memberi izin pendirian perusahaan leasing. Masalah ini semakin runyam karena pemerintah masih belum memilki standar baku mengenai aturan main perusahaan leasing.

Dengan kasus-kasus ini, Karunia berharap pemerintah bisa selektif memberi izin pendirian leasing, bisa juga dengan menggunakan sistem percobaan. Selama setahun, kegiatan usaha leasing diawasi. Bila memang telah dianggap memenuhi syarat, pemerintah baru bisa memberikan izin pendirian.

“Dari sana sudah bisa terlihat apakan perusahaan tersebut mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat? Bagaimana tanggapan mereka saat menerima keluhan dari masyarakat,” kata Karunia lagi.

Yang terpenting juga, pemerintah harus membuat aturan main yang jelas kepada perusahaan-perusahaan tersebut agar tidak merugikan masyarakat.

Sumber: Jurnal Nasional, 29 Januari 2008 [ link ]

Kurangnya sarana transportasi di daerah rural (pedesaan) direspons industri otomotif dengan penetapan target penjualan yang tajam. Namun target penjualan sepeda motor ini akan menimbulkan kemiskinan masyarakat desa.

Hal tersebut disampaikan Koordinator Forum Transportasi Pedesaan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Arif Wismadi, dalam jumpa pers ‘Transportation Outlook 2008′ di Hotel Kartika Chandra, Jl Gatot Subroto, Jakarta, Selasa (22/1/2008).

“Kemudahan dan dorongan pemasaran yang sangat kuat dari industri otomotif di wilayah pinggiran kota dan pedesaan berpotensi pemiskinan masyarakat desa,” ujar Arif.

Pemasaran sepeda motor itu ditunjang dengan kerja sama dengan lembaga finansial untuk mendorong kredit konsumsi, sehingga masyarakat desa harus membayar kredit di luar jangkauan pendapatannya.

“Pada beberapa wilayah berpotensi meningkatkan kerusakan sumber daya alam untuk mendapatkan modal awal pemilikan sepeda motor,” imbuh dia.

Selain itu, lanjut Arif, penjualan sepeda motor diikuti risiko banyaknya kecelakaan yang memakan korban masyarakat desa karena belum terlalu mahir menggunakan sepeda motor.

“Di satu sisi pelayanan transportasi masyarakat desa dari pemerintah dengan skema public service obligation (PSO) masih sekadar wacana di atas kertas,” katanya.

Untuk prasarana seperti jalan desa, menurut dia, sebanyak 51,1 persen atau 121 ribu km jalan desa seluruh Indonesia masih rusak. Sedangkan 48,9 persen atau 115 ribu km dalam kondisi baik.

“Pemerintah harus prioritaskan jalan low volume road (di pedesaan) untuk mendukung produsen di pedesaan,” pungkas dia.

Sumber: Plinplan.com, 22 Januari 2008 [ link ]

Syarifuddin melambaikan tangan sambil beranjak dari tempat duduk. Dia menawarkan jasa apakah mau diantar dengan sepeda motornya ke tempat yang diinginkan. Saya menolak dan mulai menjelaskan keinginan untuk wawancara. Syarifuddin pun menggeser tubuhnya. Kami duduk bersebelahan pada kursi kayu kecil.

“Pengeluaran saya bertambah, tapi pendapatan berkurang. Tahun ini sepertinya tidak sebagus tahun lalu,” ujarnya, menjawab pertanyaan.

Selama dua tahun lebih, Syarifuddin, 27, pria asli Betawi ini menjadi tukang ojek tepat di depan kantor tempat saya bekerja, kawasan KH Mas Mansyur, Jakarta Pusat. Pendapatan per hari untuk saat ini bisa mencapai Rp35.000, padahal tahun lalu angka Rp50.000 kerap dia kantongi.

Profesi ini bermula dari ketertarikannya memiliki sepeda motor pada pertengahan 2006 silam dengan uang muka yang relatif minim Rp200.000. Syarifuddin memutuskan membeli Yamaha New Vega warna abu-abu seharga Rp11 juta dengan masa cicilan 29 bulan, yang kini memasuki bulan ke-22.

Dia mengakui tekanan hidup semakin sulit. Harga barang pokok melonjak, tetapi pendapatan berkurang. Dia harus menghidupi istrinya, Siti Juhairiah dan anaknya yang berusia 11 bulan, Nurullah Alfarizi. Namun, dirinya terbantu dengan gaji sang istri yang bekerja sebagai petugas kebersihan sebuah bank di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat.

“Jika setiap bulannya kurang, saya biasa pinjam ke saudara sekitar Rp200.000-Rp300.000. Kadang tidak hanya kebutuhan sehari-hari, tapi juga untuk cicilan sepeda motor tiap bulan.”

Imbasnya, dia selalu telat membayar cicilan tiap bulan ke PT Bussan Auto Finance-perusahaan pembiayaan yang khusus membiayai sepeda motor merek Yamaha-dan terkena denda 0,5% per harinya. Syarifuddin menyetor Rp530.000 setiap tanggal 8, tetapi beberapa kali dia harus membayar 12 hari kemudian. Dia tak tahu banyak mengapa harga barang kian melonjak.

Orang macam Syarifuddin, saya kira tak hanya satu orang. Punya pendapatan relatif rendah, tetapi harus mengeluarkan ongkos cukup tinggi akibat terjadinya inflasi. Selama empat bulan pertama tahun ini, angka inflasi berbanding tahun lalu mencapai 8,9% membuat banyak orang kelabakan.

Termasuk perbankan yang sampai saat ini menjadi sumber dana utama industri multifinance, nama lain dari perusahaan pembiayaan. Ada yang merevisi target kredit.

Pemiskinan nasabah

Ini tentu saja bukan tanpa sebab. Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) menilai sejumlah perusahaan pembiayaan terus melakukan penawaran dana pinjaman sepeda motor tanpa melihat kualitas calon nasabah.

Semakin banyak nasabah, semakin tinggi volume bisnis. Arif Wismadi, Koordinator Forum Transportasi Pedesaan MTI mengatakan multifinance di wilayah tertentu hanya membutuhkan kartu tanda penduduk dan mengabaikan kemampuan bayar calon nasabah.

“Ini juga merugikan. Karena nasabah ternyata hanya mampu bayar down payment, akhirnya sepeda motornya ditarik. Ekspansi bisnis mendorong kebutuhan konsumtif masyarakat padahal tak mampu mencicil,” ujarnya.

Menurut Arif, persoalan itu tak hanya melulu soal semakin agresifnya multifinance, tetapi juga munculnya potensi pemiskinan nasabah. Apalagi, lanjutnya, pembelian sepeda motor lebih banyak dilakukan untuk konsumsi, bukan produksi. Digunakan tapi tak menghasilkan sesuatu.

Wiwie Kurnia, Ketua APPI, mengungkapkan multifinance memiliki mekanisme pengawasan yang teruji. Ini dapat dilihat dari keberhasilan mengendalikan angka pendanaan macet meskipun dihantam krisis moneter dan kenaikan harga BBM.

“Kondisi inflasi dan kenaikan harga tidak perlu dikait-kaitkan dengan potensi pembiayaan macet karena multifinance telah terbukti mampu bertahan,” katanya.

Mungkin saja perdebatan itu tak sampai pada telinga Syarifuddin. Dia cukup disibukkan dengan kondisi hidup yang payah di tengah meroketnya harga minyak tanah, tepung, dan beras. Juga soal sepeda motor yang mesti dilunasi cicilannya tujuh bulan lagi. Dirinya tetap menunggu penumpang dari 07.00-19.00. Syarifuddin tak akan berhenti melambaikan tangannya.

“Tiap hari saya ngukur Jakarta,” ujarnya, tertawa.

Sumber: Bisnis Indonesia, 6 Mei 2008 [ link ]

Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) menilai kualitas sarana prasarana transportasi di wilayah pedesaan masih kurang memadai. Hal tersebut mengakibatkan terhambatnya investasi di daerah dan mendongkrak harga komoditas setempat.

Koordinator Forum Transportasi Pedesaan MTI Arif Wismadi menjelaskan, 121.000 kilometer (51,1%) jalan kabupaten yang melayani pedesaan masih rusak, sementara sisanya sudah baik.

“Infrastruktur pedesaan kurang diprioritaskan,” jelas dia dalam MTI Outlook 2008, hari ini.

Kurangnya prioritas selama ini, seiring dengan rendahnya return of investment akibat sedikitnya jumlah pengguna. “Pendekatannya masih bagaimana menutup biaya,” kata dia.

Menurut Arif, pemerintah pusat sudah merintis pengembangan dan penerapan metode surplus produsen yang memperhitungkan manfaat transportasi bagi sektor produksi dan valuasi aksesibilitas pada prioritas pembangunan jalan di wilayah pedesaan. Namun belum terlaksana di daerah, kata dia.

Arif menegaskan kelemahan infrastruktur pedesaan menimbulkan dampak negatif perekonomian. Hasil produksi daerah menjadi mahal karena pola pendistribusian yang tidak lancar.

Sekretaris Jenderal MTI Danang Parikesit menambahkan kontribusi transportasi atas harga komoditas pertanian mencapai 20 persen. Namun sayangnya transportasi daerah yang sebagian besar menjadi sarana pengangkutan komoditas pertanian kurang diperhatikan.

Kurangnya perhatian itu terlihat dari rendahnya alokasi pendanaan. Menurut Danang, pemeliharaan jalan daerah secara nasional sekitar Rp4 triliun. Pemerintah daerah juga hanya mengalokasikan rata-rata 3%-5% anggaraanya, di mana idealnya harus 17 kali dari angka tersebut.

Sumber: Bisnis Indonesia, 22 Januari 2008 [ link ]

Jumlah kendaraan bermotor di DI Yogyakarta terus meningkat, dengan tingkat pertumbuhan di atas 10 persen selama tiga tahun terakhir. Jika kondisi ini terus berlanjut, dipastikan lalu lintas akan semakin padat dari hari ke hari.

Mengacu pada data Kepolisian Daerah DIY, penambahan rata-rata kendaraan bermotor per tahun selama lima tahun terakhir mencapai 83.761 unit, terbagi dalam kendaraan roda dua 75.907 unit dan kendaraan roda empat atau lebih 7.853 unit. Tahun 2005 lalu, jumlah kendaraan bermotor di DIY tahun 2005 mencapai 976.137 unit, dengan dominasi sepeda motor sebanyak 843.077.

“Jika dirata-rata secara kasar, khususnya di Kota Yogya pada waktu siang hari, itu hampir bisa dikatakan satu orang mengendarai satu jenis kendaraan bermotor. Kondisi ini jelas mengkhawatirkan,” tutur Arif Wismadi, Deputi Direktur Pengembangan Program Pusat Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM, ketika dihubungi di Yogya, Jumat (22/9).

Arif mengatakan, diperkirakan jumlah manusia yang ada dan beraktivitas di wilayah Kota Yogya yang luasnya sekitar 33 kilometer persegi di siang hari mencapai satu juta orang, yakni para penduduk kota plus para komuter. Sementara, pada malam hari separuhnya saja.

Di tengah kondisi perekonomian yang belum pulih pascagempa, ternyata penjualan sepeda motor di DIY tidak seret, bahkan cenderung pesat. Kemarin diluncurkan produk baru sepeda motor automatic Honda Vario. Chandra Sugihanjoyo, Marketing Manager PT Astra International Cabang Yogya, mengungkapkan sudah ada 500 calon pembeli yang memesan Vario, padahal saat ini baru tersedia 100 unit saja. Ditargetkan, rata-rata penjualan Vario 600 unit per bulan hingga akhir tahun.

Penjualan cukup tinggi juga terjadi pada Yamaha Mio. Menurut Arief Budi Cahyono dari Yamaha Sumber Baru Yogya, tingkat penjualan Mio sebanyak 800 unit per bulan dan ditargetkan meningkat menjadi 1.000 unit per bulan.

Arif Wismadi menuturkan, penambahan panjang maupun luas badan jalan tidak menyelesaikan masalah. Pembatasan kepemilikan kendaraan bermotor juga sulit dilakukan karena berkaitan dengan hak seseorang. Beberapa hal yang mungkin adalah pembatasan penggunaan di jalan raya, juga penerapan road pricing atau penarikan retribusi pada kendaraan bermotor pribadi di ruas-ruas jalan tertentu di kota. Cara kedua ini pernah diusulkan Pustral pada Pemerintah Kota Yogyakarta, namun belum ada keputusan dari pemkot.

Arif menyatakan, dalam konteks luas, pengaturan lalu lintas terkait erat dengan perencanaan kota. Atas kondisi yang terjadi saat ini di Yogya, membuktikan bahwa perencanaan wilayah DIY secara umum masih parsial. Di bidang transportasi, misalnya, idealnya dapat dibuat sistem transportasi massal yang terintegrasi dengan moda yang baik sehingga masyarakat memilih menggunakan moda transportasi umum.

Sumber: Kompas, 23 September 2006 [ link ]