Waspadai Promosi Menyesatkan

JIKA ditilik lebih seksama, iklan sepeda motor yang beruntun di televisi menonjolkan satu pesan: motor siapa paling cepat. Misalnya, kehebatan atau kecepatan motor yang sampai bisa merubuhkan sebuah jembatan. Promosi sepeda motor semacam ini dianggap menyesatkan.

Seolah-oleh tak soal mengendarai motor dengan kecepatan ekstra alias kebut-kebutan. Produsen motor membentuk citra bahwa mengebut di jalanan oke-oke saja asalkan menggunakan produk buatan perusahaan itu.

Menurut Koordinator Forum Transportasi Perdesaan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Arif Wismadi, iklan-iklan sepeda motor yang gentayangan saban hari di layar kaca itu justru menjadi referensi peningkatan kecelakaan lalu lintas. “Iklan seperti itu sangat tidak mendidik. Seharusnya mereka mengajarkan masyarakat berkendaraan yang aman. Mereka malah mendidik orang mengendarai motor ugal-ugalan,” kata Arif.

Padahal menurutnya, puluhan tahun lalu industri otomotif justru mengingatkan cara berkendaraan yang aman kepada pengguna produknya. “Dulu di setang sepeda motor pasti akan ada tulisan yang mengingatkan pengendara motor untuk menggunakan helm. Padahal ketika itu belum keluar aturan yang mewajibkan pengendara motor memakai pelindung kepala,” tutur Arif lagi.

Rayuan tenaga pemasar juga tak kalah maut. Mereka berjanji memberikan berbagai keringanan dan kemudahan kepada calon pembeli. Namun tidak melengkapi penjelasan tentang konsekuensi yang harus ditanggung calon pembeli bila tidak mampu membayar cicilan kredit.

Keluhan seperti inilah yang belakangan banyak masuk di Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Kepada YLKI, banyak orang mengeluh karena motor mereka diambil karena terlambat membayar cicilan, padahal sebagian cicilannya telah dibayar.

Bila terlambat membayar kredit, pihak perusahaan tak segan mengancam akan mengambil motor itu. Bila tidak mau diambil, pembeli harus melunasi semua tanggungan secara penuh dengan tenggat waktu sangat singkat. “Dalam kondisi terjepit seperti ini, seseorang tidak memiliki kekuatan, sementara perusahaan dengan tega mengambil motor tersebut,” kata staf bidang hukum dan pengaduan YLKI Karunia Asih Rahayu.

Saat proses pengambilan motor, perusahaan juga masih meminta biaya penarikan yang jumlahnya sedikit. Ujung-ujungnya, konsumen malah menerima kerugian beruntun. Motor hilang, uang muka dan biaya kredit yang telah diangsur pun hangus tanpa wekas.

Semestinya perusahaan menginformasikan dan mengingatkan pembeli motor soal tagihan yang belum dilunasi sekurang-kurangnya tiga bulan sebelumnya. Tetapi kenyataan di lapangan, perusahaan datang mengambil motor tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.

“Seperti sebuah kesengajaan, mereka memberitahu di last minute. Seolah-olah konsumen memang dibiarkan telat membayar cicilan agar ada pihak yang diuntungkan,” kata dia lagi. Menurut Karunia, kasus-kasus seperti itu terus berulang dan semakin sering terjadi dari hari ke hari. Permasalahan semacam ini tidak pernah usai karena hampir setiap hari, pasti ada orang yang mengambil kredit motor.

“Ini seperti lingkaran setan,” kata Karunia lagi. Menurutnya, salah satu penyebab perkara ini adalah perusahaan tidak memberikan informasi yang lengkap dan transparan kepada calon pembeli. Kerap pula mereka tidak memberikan kesempatan kepada pembeli membaca klausul-klausul perjanjian secara detil.

“Mereka baru membaca sekilas isi perjanjian, lalu segera diminta tanda tangan perjanjian,”kata Rahayu. Fenomena ini terjadi juga karena masyarakat begitu mudah melakukan transaksi pembelian motor tanpa melalui urusan berbelit dan modal besar. Skema penjualan ini didukung oleh aktivitas perusahaan pembiayaan konsumen atau leasing.

Agar lebih mudah menjajakan produknya, industri sepeda motor memang gencar mencari leasing yang mau memasarkan motor buatannya. Leasing-leasing ini diberi berbagai paket kemudahan dari industri, meski sebenarnya perusahaan itu tidak kredibel. Oleh karena itu jangan heran bila hari-hari belakangan begitu banyak perusahaan leasing berdiri.

Hal ini terjadi karena tidak begitu sulit mendirikan perusahaan leasing. Karunia bahkan berani mengatakan bahwa pemerintah sangat mudah memberi izin pendirian perusahaan leasing. Masalah ini semakin runyam karena pemerintah masih belum memilki standar baku mengenai aturan main perusahaan leasing.

Dengan kasus-kasus ini, Karunia berharap pemerintah bisa selektif memberi izin pendirian leasing, bisa juga dengan menggunakan sistem percobaan. Selama setahun, kegiatan usaha leasing diawasi. Bila memang telah dianggap memenuhi syarat, pemerintah baru bisa memberikan izin pendirian.

“Dari sana sudah bisa terlihat apakan perusahaan tersebut mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat? Bagaimana tanggapan mereka saat menerima keluhan dari masyarakat,” kata Karunia lagi.

Yang terpenting juga, pemerintah harus membuat aturan main yang jelas kepada perusahaan-perusahaan tersebut agar tidak merugikan masyarakat.

Sumber: Jurnal Nasional, 29 Januari 2008 [ link ]