Hello world!
Welcome to WordPress. This is your first post. Edit or delete it, then start blogging!
Uncategorized
Welcome to WordPress. This is your first post. Edit or delete it, then start blogging!
Uncategorized
Buruknya kualitas infrastruktur jalan raya memicu perlambatan perekonomian. Pemerintah harus melakukan pembenahan secara khusus agar tidak menghambat proses distribusi barang dan jasa.
Lambannya pembangunan infrastruktur penunjang aktivitas perekonomian terlihat dari hasil survei daya saing global yang dilakukan The World Economic Forum (WEF), Oktober 2007. Dari survei tersebut, Indonesia terpaksa turun empat tingkat dari posisi 50 pada survei 2006. Survei melibatkan 131 negara.
Bambang Susantono, Deputi Bidang Infrastruktur & Pengembangan Wilayah Menko Perekonomian, merinci penumpukan kendaraan angkutan seperti terjadi di ruas jalan Sumatera–Jawa telah menghambat kinerja ekspor impor. Hambatan teknis di jalan raya itu juga memicu timbulnya ekonomi biaya tinggi.
“Dari segi daya saing, Indonesia menempati peringkat ke-54. Salah satu indikatornya adalah buruknya kualitas pelayanan transportasi sehingga hanya menempati urutan 91,” papar Bambang dalam sebuah seminar transportasi di Jakarta, Selasa (26/2).
Buruknya kualitas infrastruktur di Tanah Air sangat kontradiktif dengan kucuran anggaran bagi sektor tersebut. Sekadar ilustrasi, alokasi dana APBN untuk infrastruktur pada 2005 mencapai Rp 20,9 triliun. Angka membengkak jadi Rp 61,9 triliun pada 2008.
Situasi serupa terjadi pada sektor transportasi dengan dana yang digelontorkan melalui APBN senilai Rp 8,9 triliun pada 2005, lalu naik menjadi Rp 33,8 triliun pada 2008.
Agus Taufik Mulyono, peneliti dari Pusat Studi Transportasi & Logistik (Pustral) Universitas Gajah Mada, meragukan naiknya alokasi anggaran itu akan berimplikasi positif terhadap perbaikan kualitas infrastruktur.
“Saya tidak yakin kenaikan anggaran itu akan sejalan dengan perbaikan kualitas infrastruktur,” kata Agus.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Perhubungan Darat Departemen Perhubungan Iskandar Abubakar mengatakan, pihaknya akan memberlakukan kebijakan pembatasan beban (tonase) nol persen. Ketentuan itu merespon tingginya laju kerusakan jalan akibat pelanggaran tonase.
Menyikapi rencana itu, Agus mengatakan, kebijakan pembatasan tonase kendaraan bukan solusi bijak mengatasi laju kerusakan permukaan jalan. Pasalnya, pemicu utama kerusakan jalan justru minimnya kualitas pengerjaan jalan dan sistem drainase air.
“Kita selalu bicara jalan rusak akibat beban jalan, tapi tidak pernah menyentuh persoalan mutu jalan. Untuk itu, perlu mekanisme audit mutu pengerjaan jalan raya. Selama ini, mekanisme audit pengerjaan jalan belum berjalan,” tandas Agus.
Ketua Lembaga Konsumen Jasa Konstruksi (LPJK) Bambang Pranoto menilai, kebijakan pembatasan tonase tidak mencerminkan tanggung jawab pemerintah dalam aspek pemeliharaan infrastruktur.
Kerusakan jalan, menurut Bambang, lebih dipengaruhi oleh rendahnya kualitas konstruksi jalan. Hal itu menunjukkan minimnya tanggung jawab Departemen Pekerjaan Umum dalam peningkatan desain jalan sesuai kapasitas muat.
Bambang mengatakan, desain beban jalan (design load factor) sesuai UU No 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, menyebutkan tanggung jawab konstruksi seharusnya menyangkut kurun waktu pemakaian 10 tahun. “Yang terjadi di ruas jalan Pantura justru kurang dari lima tahun,” tegasnya.
Kuncinya adalah monitoring dan evaluasi standardisasi kualitas mutu pasca pengerjaan jalan. Aktivitas monitoring dan evaluasi tidak bertujuan mencari-cari kesalahan kontraktor pengembang jalan raya. Upaya itu merupakan salah satu solusi dalam pemenuhan standardisasi pemberlakuan mutu penggarapan jalan.
“Bukan ingin mencari kesalahan. Saya yakin volume pengerjaan sesuai koridor dan tidak mengindikasikan adanya penyelewengan. Hanya saja, harus ada konsistensi mutu pengerjaan konstruksi. Tentunya, upaya monitoring dan evaluasi harus didasari niat yang murni, kejujuran, dan ketegasan pemerintah,” tukasnya.
Bambang pernah meminta Departemen PU mengaudit konstruksi bersama guna membuktikan telah terjadi kesalahan desain dalam pengerjaan jalan di Pantura. Ia juga merekomendasikan perlunya penegakkan hukum kalau dirasakan konstruksi jalan mengindikasikan unsur penyimpangan dan pidana korupsi.
WEF merinci, dengan skor 4,24, Indonesia hanya terpaut tipis dibandingkan kekuatan baru Asia, yakni Vietnam, dengan poin 4,04. Survei itu menyebutkan 20,5% responden menilai kekurangan infrastruktur di Indonesia menjadi pemicu utama pengganjal produktivitas dan daya saing bangsa ini.
Berdasarkan pemeringkatan 131 negara, kualitas infrastruktur jalan raya dan pelabuhan di Indonesia hanya berada di posisi ke-113. Kualitas infrastruktur pendukung lainnya harus puas di urutan 102.
Diambil dari: www.inilah.com, 27 Februari 2008, 12:01 WIB
Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Bambang Susantono mengatakan, percepatan penyediaan angkutan umum massal harus berpegang pada tiga prinsip utama, yakni komprehensif dan integratif, menjaga konsistensi perencanaan dan master plan, serta transparansi dan akuntabilitas dalam perencanaan juga pelaksanaan terutama penganggaran.
Menurut dia, penyediaan angkutan massal akan sangat berpengaruh pada perkembangan pembangunan kota dan kesejahteraan masyarakat. Tingkat urbanisasi yang tinggi di kotakota besar sangat memengaruhi bentuk fisik kota, mengingat permukiman yang cukup besar berlokasi di pinggiran kota. Sebuah studi menyimpulkan kebanyakan kota besar di negara Asia Timur terlambat dalam mengembangkan sistem angkutan umum massalnya.
Akibatnya, kota tersebut terperangkap dalam struktur monocentric. “Untuk itu, diperlukan percepatan penyediaan sistem angkutan massal agar segera terbentuk sistem jaringan utama transportasi perkotaan,” tuturnya dalam siaran pers, Minggu (30/3/2008).
Wakil Sekjen MTI Agus Taufik Mulyono menambahkan, faktor penyebab kerusakan jalan infrastruktur jalan dapat dikelompokkan dalam dua dimensi, yakni disebabkan faktor internal dan eksternal. ”Kerusakan eksternal, terutama terkait sistem drainase air, permukaan jalan, dan beban kendaraan yang beroperasi,” tuturnya.
Diambil dari: www.okezone.com, 30-03-2008, 14:50 WIB
Pemadaman listrik terpaksa dilakukan manajemen PT PLN menyusul kegagalan suplai batubara ke pembangkit listrik. Ada usulan untuk menambah kapasitas angkut dengan moda transportasi laut berbendera asing agar kepastian pasokan tetap terjaga.
Pemerintah tengah mengkaji pemenuhan kebutuhan pasokan batubara dengan kesiapan pelayanan dari sektor transportasi. Salah satu alasan kegagalan distribusi batubara adalah larangan kapal berbendera asing melayani pasokan batubara di wilayah perairan Nusantara.
“Saat ini kita memakai kapasitas angkut seluruhnya dari perusahaan pelayaran nasional. Ternyata ada kesenjangan antara kebutuhan dengan jumlah armada sehingga perlu ada solusinya. Namun, wacana pemakaian kapal berbendera asing bukan berarti untuk melanggar ketentuan asas cabbotage,” kata Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Bambang Susantono saat dihubungi INILAH.COM, Kamis (28/2).
Asas cabbotage merupakan kewajiban muatan pelayaran domestik harus diangkut dengan kapal berbendera Indonesia yang dioperasikan perusahaan pelayaran nasional. Kebijakan tersebut termuat dalam Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional. Ada 13 jenis muatan pelayaran yang diatur dalam azas cabbotage, salah satunya adalah komoditas batubara.
Dapat dipastikan, wacana penggunaan kapal berbendera asing untuk melayari angkutan kargo batubara di wilayah perairan domestik bakal mendapat penolakan keras dari pelaku industri pelayaran.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Indonesia (API) Priyo Pribadi Soemarno menyebutkan, minimnya daya dukung fasilitas infrastruktur dan transportasi sebagai kendala terbesar dalam jalur distribusi batu bara.
Jumlah armada kapal pengangkut batubara berbendera Indonesia relatif sedikit sehingga berpotensi menimbulkan masalah kapasitas angkut.
“Belum lagi nanti setelah proyek pembangkit 10 ribu MegaWatt selesai dibangun sehingga angka pasokan batu bara setidaknya harus tercapai 35 juta ton. Namun, kebijakan memanfaatkan angkutan laut berbendera asing pasti akan berbenturan dengan azas cabbotage,” jelas Priyo.
Pendapat berbeda disampaikan pakar transportasi dari Universitas Gajah Mada Agus Taufik Mulyono. Dia mengatakan, ketidaklancaran sistem logistik batubara dipicu persoalan kelambanan pelayanan pada intermoda transportasi.
Keterlambatan bisa terlihat dari lambannya kegiatan bongkar muat batu bara di pelabuhan hingga persoalan moda transportasi di jalur darat. “Sumber permasalahan kargo yang menggunakan fasilitas angkutan laut adalah di pelabuhan. Dalam konteks faktor alam, sebenarnya kekuatan armada kapal laut kita sudah cukup mumpuni untuk dihadapkan pada kendala cuaca,” tandas Agus.
Dia mengimbau, angkutan batubara tidak perlu menggunakan fasilitas dari pihak luar. Hal itu bertujuan memberi keleluasaan bagi pelaku usaha swasta domestik. “Kenapa ketika terjadi persoalan, kita langsung mengambil jalan pintas dengan menggunakan kapal asing. Apa bedanya kalau kita memperkuat armada kapal berbendera Indonesia untuk mengangkut komoditi batu bara demi menjamin kepastian suplai domestik,” katanya.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menjelaskan, pemahaman akan krisis energi sudah menggelegar sejak 2002. Ironisnya, pemerintah tidak secara serius menangani persoalan krisis energi. Terbukti, belum ada tindakan yang memadai guna mengantisipasi meluasnya dampak krisis energi.
“Langkah pengamanan pasokan batubara antara lain memastikan volume stok, serta membenahi infrastruktur pendukungnya. Dari dulu sudah teridentifikasi ada masalah infrastruktur seperti kurangnya kapasitas terminal pelabuhan untuk loading maupun unloading batubara tidak mampu melayani kapasitas semestinya,” kata dia.
Beragam diagnosis sudah diutarakan. Namun, kendala krisis energi listrik belum juga terpecahkan. Mau sampai kapan pemadaman terus terjadi?
Diambil dari: www.inilah.com, 29/02/2008 17:01 WIB
Pengaturan tarif parkir oleh pemerintah menjadi suatu keharusan supaya parkir tidak menjadi liar. Kebijakan kenaikan tarif parkir juga bisa menjadi salah satu solusi untuk mengurangi kemacetan terutama pada masa liburan. Kenaikan tarif parkir sebaiknya diberlakukan semahal mungkin sehingga masyarakat malas parkir terutama di bahu jalan yang cenderung mengganggu arus lalu lintas.
Kepala Pelaksana Harian Pusat Studi Transportasi dan Logistik Universitas Gadjah Mada Agus Taufik Mulyono mengutarakan, parkir merupakan upaya untuk mengatur kendaraan supaya tidak mengganggu ruang milik jalan. “Hak orang lain sebagai pejalan kaki atau pengguna jalan jangan sampai dilanggar,” ujarnya, Rabu (10/10).
Kenaikan tarif parkir, lanjut Taufik, harus ditetapkan secara resmi oleh pemerintah kabupaten dan kota melalui peraturan daerah (perda). Selain itu, perlu pengawasan terhadap juru parkir supaya tidak menetapkan tarif di luar ketentuan perda. “Jika dibiarkan, juru parkir akan punya lahan sendiri untuk menaikkan tarif,” katanya.
Peningkatan kesadaran pengguna jalan supaya tidak mengganggu lebar efektif jalan dan keindahan kota juga perlu dipupuk. Apalagi, masyarakat cenderung lebih memilih parkir di bahu jalan, sementara kantong parkir di DIY masih sangat terbatas. Kenaikan tarif parkir harus memperhitungkan biaya operasional kendaraan atau masyarakat yang terganggu karena parkir itu. Salah satu cara
Peneliti dari Magister Sistem Teknis Transportasi UGM, Ahmad Munawar, menambahkan, kenaikan tarif parkir bisa menjadi salah satu cara untuk mengurangi jumlah kendaraan pribadi di DIY. Namun, kenaikan tarif parkir tersebut harus ditetapkan secara resmi dengan angka kenaikan yang signifikan.
Tingginya ongkos parkir dinilai merupakan bagian dari demand atau permintaan manajemen perjalanan. “Salah satu cara untuk menggalakkan angkutan umum adalah dengan mempersulit penggunaan kendaraan pribadi seperti kenaikan tarif parkir,” tuturnya.
Kenaikan tarif parkir secara resmi, menurut Munawar, bisa menjadi pertimbangan untuk menyukseskan perbaikan sistem transportasi angkutan umum yang hendak dilakukan di DIY, terutama terkait rencana hadirnya bus trans Yogyakarta yang diperkirakan beroperasi Desember mendatang.
Angka kenaikan parkir sebaiknya cukup tinggi supaya lebih efektif mendongkrak minat berpindah ke kendaraan umum. Kenaikan yang hanya 20-30 persen dinilai tidak cukup elastis. Masyarakat baru akan berpikir untuk menggunakan angkutan umum jika kenaikan parkir cukup tinggi.
Namun, kebijakan peningkatan tarif parkir saja tidak cukup untuk mengubah kebiasaan masyarakat menggunakan kendaraan pribadi. Kebijakan perparkiran, menurut Munawar, bisa disiasati dengan menaikkan tarif parkir di pusat-pusat kemacetan. Parkir di daerah pinggir kota tidak perlu dinaikkan.
Diambil dari: www.kompas.com, 11 Oktober 2007
Setiap 30 menit satu orang meninggal karena kecelakaan lalu lintas di Indonesia dan setiap satu jam ada yang terluka parah karena kecelakaan.
Menurut Agus Taufik Mulyono dari Pusat Studi Transportasi dan Logistik Universitas Gadjah Mada, angka-angka itu disimpulkan berdasarkan data kecelakaan lalu lintas tahun 2006 yang disiarkan Kepolisian Indonesia.
Dr Agus menjelaskan kecelakaan baik di darat, di laut, sungai maupun di udara sebagian besar karena tidak mentaati aturan, kendaraan sudah tua, pemeliharaan lalai dan sumber daya manusia yang lemah.
Angka kecelakaan transportasi di Indonesia ini merupakan yang terbesar di Asia Tenggara. Dan, di tingkat Asia, India menyamai rekor kecelakaan lalu lintas itu.
Kalau dijumlahkan tingkat kecelakaan seluruhnya mungkin akan membengkak karena baik kereta api, pesawat maupun kapal dan perahu sungai masih sering mengalami kecelakaan.
Apakah ini berarti perhatian terhadap keselamatan para penumpang angkutan umum belum menjadi perhatian penting? Operator angkutan laut, darat dan udara tampaknya masih memiliki masalah dalam menjaga kualitas sopir, pilot atau nakhoda.
Selain itu masih adanya kesulitan dalam menjaga kelaikan kendaraan umum ini.
Sementara regulator yakni pemerintah Indonesia sendiri masih belum independen karena melekat ke kantor kementerian.
Perawatan mahal
Betapa belum adanya perhatian di kalangan sopir angkutan bus umum misalnya terungkap dari sopir disana yang mengaku setelah puluhan tahun berada di belakang kemudi tidak perlu lagi diuji ulang.
“Terus terang saja kalau diuji lagi tak ada sopir yang lulus. Jadi tak perlu ada ujian lagi,” kata seorang sopir di Yogyakarta.
Petugas terminal bus juga tampaknya hanya cukup denga mengawasi dari jauh mengenai kehandalan sopir ini.
“Saya lihat saja mereka apakah sopir ini masih bisa menjalankan kendaraannya, kalau tidak kami akan larang keluar dari terminal, ” kata seorang petugas di terminal Giwangan Yogyakarta seraya menambahkan kelaikan kendaraan juga hanya diperiksa jika diperlukan.
Mengenai kelaikan kendaraan, khususnya bus angkutan antar kota, petugas mekanik yang bekerja untuk perusahaan bus Rahardja di Yogyakarta, mengaku perawatan mesin, oli mesin dilakukan secara berkala.
Namun mengenai gangguan rem - yang disinyalir kadang-kadang menjadi penyebab kecelakaan - tergantung laporan sopir. Jika tidak ada informasi dari sopir, bus itu dianggap tidak bermasalah.
Selain itu, seperti kata pemilik bus Baker di Yogyakarta, perawatan bus juga mahal, terutama ban dan oli. Jadi ongkos perawatan itu dan juga gaji para pegawai memang menjadi beban perusahaan yang besar.
Birokrasi panjang
Mengenai perawatan ini juga dirasakan oleh PT Kereta Api Indonesia.
Operator kereta api ini mengakui perbaikan lokomotif kadang-kadang terhambat karena lamanya suku cadang.
Kepala Balai Yasa Yogyakarta Albert Tarra menekankan, pihaknya jangan disalahkan karena lokomotif yang sudah diperbaiki hanya tahan beberapa bulan.
Persoalannya, katanya, karena suku cadang yang diminta perlu waktu berbulan-bulan untuk pemesanan karena panjangnya birokrasi.
Sementara seorang pemilik perahu di Sungai Martapura, Banjarmasin mengungkapkan, peraturan keselamatan itu menuntut pengeluaran lebih besar. Padahal, katanya, untuk penghasilan sehari-hari saja sudah susah.
Hal ini diakui oleh Ketua Umum Dewan Pimpinan Daerah Gabungan Angkutan Sungai dan Penyeberangan Bambang Harjo, bahwa untuk keselamatan ribuan pemilik angkutan sungai di Indonesia baru bersifat himbauan, belum pada tahap sampai wajib dilaksanakan.
Tanpa toleransi
Di angkutan udara juga sama, kata pengamat pesawat Dudi Sudibyo bahwa, beberapa maskapai penerbangan apalagi dengan tiket murah belum sepenuhnya mengikuti teknik perawatan yang ideal.
Bahkan untuk pelatihan pilot juga yang mahal, mungkin hanya sekali setahun sehingga kadang-kadang menimbulkan masalah dalam keselamata.
Menteri Perhubungan Yusman Syafei Djamal mengatakan, kebijakan pemerintah untuk menekan angka kematian akibat kecelakaan di Indonesia adalah dengan kebijakan zero accident tolerance. Artinya, kecelakaan akan ditekan sampai angka nol.
Pemerintah Indonesia melakukan peningkatan pengawasan kendaraan umum.
Namun usulan Uni Eropa untuk memisahkan regulator transportasi udara terpisah dari badan pemerintah, Menteri Perhubungan menyatakan tidak setuju karena mencampuri urusan tata pemerintahan.
Uni Eropa sampai sekarang melarang puluhan maskapai penerbangan Indonesia terbang ke Eropa karena kekhawatiran akan masalah keselamatan penumpang.
Diambil dari: www.bbc.co.uk, 16 Juni 2008, 07:57 WIB