Pemadaman listrik terpaksa dilakukan manajemen PT PLN menyusul kegagalan suplai batubara ke pembangkit listrik. Ada usulan untuk menambah kapasitas angkut dengan moda transportasi laut berbendera asing agar kepastian pasokan tetap terjaga.
Pemerintah tengah mengkaji pemenuhan kebutuhan pasokan batubara dengan kesiapan pelayanan dari sektor transportasi. Salah satu alasan kegagalan distribusi batubara adalah larangan kapal berbendera asing melayani pasokan batubara di wilayah perairan Nusantara.
“Saat ini kita memakai kapasitas angkut seluruhnya dari perusahaan pelayaran nasional. Ternyata ada kesenjangan antara kebutuhan dengan jumlah armada sehingga perlu ada solusinya. Namun, wacana pemakaian kapal berbendera asing bukan berarti untuk melanggar ketentuan asas cabbotage,” kata Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Bambang Susantono saat dihubungi INILAH.COM, Kamis (28/2).
Asas cabbotage merupakan kewajiban muatan pelayaran domestik harus diangkut dengan kapal berbendera Indonesia yang dioperasikan perusahaan pelayaran nasional. Kebijakan tersebut termuat dalam Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional. Ada 13 jenis muatan pelayaran yang diatur dalam azas cabbotage, salah satunya adalah komoditas batubara.
Dapat dipastikan, wacana penggunaan kapal berbendera asing untuk melayari angkutan kargo batubara di wilayah perairan domestik bakal mendapat penolakan keras dari pelaku industri pelayaran.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Indonesia (API) Priyo Pribadi Soemarno menyebutkan, minimnya daya dukung fasilitas infrastruktur dan transportasi sebagai kendala terbesar dalam jalur distribusi batu bara.
Jumlah armada kapal pengangkut batubara berbendera Indonesia relatif sedikit sehingga berpotensi menimbulkan masalah kapasitas angkut.
“Belum lagi nanti setelah proyek pembangkit 10 ribu MegaWatt selesai dibangun sehingga angka pasokan batu bara setidaknya harus tercapai 35 juta ton. Namun, kebijakan memanfaatkan angkutan laut berbendera asing pasti akan berbenturan dengan azas cabbotage,” jelas Priyo.
Pendapat berbeda disampaikan pakar transportasi dari Universitas Gajah Mada Agus Taufik Mulyono. Dia mengatakan, ketidaklancaran sistem logistik batubara dipicu persoalan kelambanan pelayanan pada intermoda transportasi.
Keterlambatan bisa terlihat dari lambannya kegiatan bongkar muat batu bara di pelabuhan hingga persoalan moda transportasi di jalur darat. “Sumber permasalahan kargo yang menggunakan fasilitas angkutan laut adalah di pelabuhan. Dalam konteks faktor alam, sebenarnya kekuatan armada kapal laut kita sudah cukup mumpuni untuk dihadapkan pada kendala cuaca,” tandas Agus.
Dia mengimbau, angkutan batubara tidak perlu menggunakan fasilitas dari pihak luar. Hal itu bertujuan memberi keleluasaan bagi pelaku usaha swasta domestik. “Kenapa ketika terjadi persoalan, kita langsung mengambil jalan pintas dengan menggunakan kapal asing. Apa bedanya kalau kita memperkuat armada kapal berbendera Indonesia untuk mengangkut komoditi batu bara demi menjamin kepastian suplai domestik,” katanya.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menjelaskan, pemahaman akan krisis energi sudah menggelegar sejak 2002. Ironisnya, pemerintah tidak secara serius menangani persoalan krisis energi. Terbukti, belum ada tindakan yang memadai guna mengantisipasi meluasnya dampak krisis energi.
“Langkah pengamanan pasokan batubara antara lain memastikan volume stok, serta membenahi infrastruktur pendukungnya. Dari dulu sudah teridentifikasi ada masalah infrastruktur seperti kurangnya kapasitas terminal pelabuhan untuk loading maupun unloading batubara tidak mampu melayani kapasitas semestinya,” kata dia.
Beragam diagnosis sudah diutarakan. Namun, kendala krisis energi listrik belum juga terpecahkan. Mau sampai kapan pemadaman terus terjadi?
Diambil dari: www.inilah.com, 29/02/2008 17:01 WIB
Tags: energi, Logistik, transportasi barang
No comments
Comments feed for this article
Trackback link
http://www.pustral-ugm.org/atm/wp-trackback.php?p=8