Saat ini gerakan kembali bersepeda mulai menggeliat di kota-kota di Indonesia. Beberapa kota merespon dengan mulai memberikan fasilitas (infrastruktur), meski tidak banyak yang membarenginya dengan enforcement untuk mendayagunakan fasilitas tersebut. Beberapa pengelola kota menunggu sampai pengguna mencapai jumlah tertentu untuk menyediakan infrastruktur, sebagaimana di Jakarta, pengelola kota akan menyediakan infrastruktur jika pengguna mencapai jumlah tertentu. Disatu sisi tantangan ini cukup menantang, tapi disisi lain menyisakan pertanyaan seberapa cepat ‘persyaratan’itu dapat terpenuhi. Mengandalkan perubahan pola perjalanan masyarakat menjadi kembali bersepeda tanpa perubahan besar tampaknya berat apalagi saat ini sepeda bersaing bebas dengan sepeda motor.
Bike sharing adalah konsep yang dapat dikaji untuk menjawab permasalahan ini. Bike sharing adalah penyediaan sepeda untuk penggunaan publik (gratis atau sewa). Konsep ini berjalan dengan sukses di Lyon dan Paris, juga di banyak tempat di Eropa dan Amerika Utara. Konsep ini mempunyai keunggulan bahwa pengguna tidak perlu mempunyai sepeda sendiri sehingga tidak ada kekhawatiran akan kehilangan aset, sepeda dapat disebar ditempat-tempat yang terjangkau dan terlihat – bisa diletakkan terintegrasi dengan fasilitas angkutan umum atau parkir, semua dengan biaya yang terjangkau bahkan gratis. Kelemahan utama dari konsep ini adalah aspek keamanan sepeda dari pencurian dan perusakan. Penggunaan sepeda yang heavy duty, desain unik yang tidak mudah dijual dan digunakan kembali, dan pengguna harus menjadi member adalah ide yang dapat dikaji lebih lanjut kelayakannya.
Yang menjadi permasalahan adalah siapa yang harus menyediakan sepeda dan siapa yang mengelola. Melihat keberhasilan konsep buy the service untuk angkutan umum, tampaknya konsep ini juga menarik dikaji penggunaannya untuk sepeda. Dasar kebijakannya adalah bahwa penyediaan fasilitas bersepeda, sebagaimana angkutan umum adalah tanggung jawab publik. Fasilitas bersepeda dapat berupa infrastruktur atau sarananya (sepeda dan fasilitas pendukung).
Beberapa pemikiran untuk menjalankan konsep buy the service untuk transportasi sepeda adalah:
- sepeda disediakan oleh operator sepeda, dengan standar kualitas tertentu, bisa dengan penyediaan sendiri, komunitas atau sponsor atau sumber lain
- pemerintah membayar layanan sepeda oleh operator berbasiskan indikator tertentu (sebagaimana rupiah km dalam busway), misalnya sepeda-jam (misalnya 4 sepeda selama 12 jam layanan) atau indikator lain. Dasar pemerintah membayar adalah ketersediaan layanan sepeda selama waktu yang ditentukan.
- operator menyediakan layanan pada titik-titik yang ditentukan selama waktu yang ditentukan, layanan bisa sewa atau gratis. Layanan operator termasuk misalnya terjadi kempes ban ditempat tertentu, pengguna dapat menghubungi hotline, sehingga operator harus menyediakan sepeda pengganti untuk tidak mengurangi kualitas layanan.
- pendapatan operator bisa didapatkan dari: sewa sepeda, iklan di badan sepeda (semakin banyak sepeda semakin baik bagi iklan), kegiatan kreatif lain
- kekurangan pendapatan operator (terhadap biaya operasi sepedanya), disubsidi oleh pemerintah
- pemerintah menyediakan infrastruktur yang diperlukan
- penyediaan sepeda ini dapat dijadikan moda kedua: berangkat kerja tetap denga kendaraan bermotor/angkutan umum, sepeda menjadi moda lanjutan atau moda kedua, sehingga diharapkan penggunaan kendaraan bermotor hanya pada saat pergi pagi dan pulang sore
Beberapa pertanyaan yang harus terjawab dalam konsep ini adalah:
- kelayakan pengelolaan (dari sisi biaya operasi dan subsidi yang harus diberikan) perlu dikaji lebih lanjut
- seberapa mampu pemerintah menyediakan kebijakan pendukung