Archive for » April, 2009 «

Wednesday, April 01st, 2009 | Author: admin

Saat ini gerakan kembali bersepeda mulai menggeliat di kota-kota di Indonesia. Beberapa kota merespon dengan mulai memberikan fasilitas (infrastruktur), meski tidak banyak yang membarenginya dengan enforcement untuk mendayagunakan fasilitas tersebut. Beberapa pengelola kota menunggu sampai pengguna mencapai jumlah tertentu untuk menyediakan infrastruktur, sebagaimana di Jakarta, pengelola kota akan menyediakan infrastruktur jika pengguna mencapai jumlah tertentu. Disatu sisi tantangan ini cukup menantang, tapi disisi lain menyisakan pertanyaan seberapa cepat ‘persyaratan’itu dapat terpenuhi. Mengandalkan perubahan pola perjalanan masyarakat menjadi kembali bersepeda tanpa perubahan besar tampaknya berat apalagi saat ini sepeda bersaing bebas dengan sepeda motor.

Bike sharing adalah konsep yang dapat dikaji untuk menjawab permasalahan ini. Bike sharing adalah penyediaan sepeda untuk penggunaan publik (gratis atau sewa). Konsep ini berjalan dengan sukses di Lyon dan Paris, juga di banyak tempat di Eropa dan Amerika Utara. Konsep ini mempunyai keunggulan bahwa pengguna tidak perlu mempunyai sepeda sendiri sehingga tidak ada kekhawatiran akan kehilangan aset, sepeda dapat disebar ditempat-tempat yang terjangkau dan terlihat – bisa diletakkan terintegrasi dengan fasilitas angkutan umum atau parkir, semua dengan biaya yang terjangkau bahkan gratis. Kelemahan utama dari konsep ini adalah aspek keamanan sepeda dari pencurian dan perusakan. Penggunaan sepeda yang heavy duty, desain unik yang tidak mudah dijual dan digunakan kembali, dan pengguna harus menjadi member adalah ide yang dapat dikaji lebih lanjut kelayakannya.

Yang menjadi permasalahan adalah siapa yang harus menyediakan sepeda dan siapa yang mengelola. Melihat keberhasilan konsep buy the service untuk angkutan umum, tampaknya konsep ini juga menarik dikaji penggunaannya untuk sepeda. Dasar kebijakannya adalah bahwa penyediaan fasilitas bersepeda, sebagaimana angkutan umum adalah tanggung jawab publik. Fasilitas bersepeda dapat berupa infrastruktur atau sarananya (sepeda dan fasilitas pendukung).

Beberapa pemikiran untuk menjalankan konsep buy the service untuk transportasi sepeda adalah:

  • sepeda disediakan oleh operator sepeda, dengan standar kualitas tertentu, bisa dengan penyediaan sendiri, komunitas atau sponsor atau sumber lain
  • pemerintah membayar layanan sepeda oleh operator berbasiskan indikator tertentu (sebagaimana rupiah km dalam busway), misalnya sepeda-jam (misalnya 4 sepeda selama 12 jam layanan) atau indikator lain. Dasar pemerintah membayar adalah ketersediaan layanan sepeda selama waktu yang ditentukan.
  • operator menyediakan layanan pada titik-titik yang ditentukan selama waktu yang ditentukan, layanan bisa sewa atau gratis. Layanan operator termasuk misalnya terjadi kempes ban ditempat tertentu, pengguna dapat menghubungi hotline, sehingga operator harus menyediakan sepeda pengganti untuk tidak mengurangi kualitas layanan.
  • pendapatan operator bisa didapatkan dari: sewa sepeda, iklan di badan sepeda (semakin banyak sepeda semakin baik bagi iklan), kegiatan kreatif lain
  • kekurangan pendapatan operator (terhadap biaya operasi sepedanya), disubsidi oleh pemerintah
  • pemerintah menyediakan infrastruktur yang diperlukan
  • penyediaan sepeda ini dapat dijadikan moda kedua: berangkat kerja tetap denga kendaraan bermotor/angkutan umum, sepeda menjadi moda lanjutan atau moda kedua, sehingga diharapkan penggunaan kendaraan bermotor hanya pada saat pergi pagi dan pulang sore

Beberapa pertanyaan yang harus terjawab dalam konsep ini adalah:

  • kelayakan pengelolaan (dari sisi biaya operasi dan subsidi yang harus diberikan) perlu dikaji lebih lanjut
  • seberapa mampu pemerintah menyediakan kebijakan pendukung
Wednesday, April 01st, 2009 | Author: admin

PUSTRAL menyelenggarakan seminar/diskusi bulanan tentang Sepeda Hijau UGM tanggal 12 Maret 2009. Sebagai pembicara untuk membuka diskusi adalah saya sendiri, dimoderatori oleh P Lilik Wachid Budi Susilo dan acara ini dibuka oleh Prof. Sunyoto Usman. Tema yang saya angkat sebenarnya sederhana saja, yaitu bagaimana menggiatkan kembali program Sepeda Hijau (SH) yang telah berusia dua tahun untuk kembali menjadi ‘andalan’ perintis jalan bagi pengembangan transportasi kampus yang lebih manusiawi dan bersahabat bagi lingkungan.

Sebagaimana disadari bersama, permasalahan transportasi perkotaan terutama adalah karena demand yang berkembang sangat cepat, tidak mampu diimbangi oleh kecepatan penyediaan supply. Semakin tingginya ketergantungan kepada kendaraan bermotor menyebabkan kota berkembang dalam ukuran yang ramah hanya untuk kendaraan bermotor. Semakin sedikitnya opsi untuk transportasi alternatif ini menyebabkan lingkaran ketergantungan kepada kendaraan bermotor menjadi semakin susah diputus. Di sisi lain, karakteristik perjalanan perkotaan menunjukkan bahwa hampir 30% perjalanan dilakukan dalam waktu dibawah 10 menit, 40% antara 10-20 menit, artinya 70% perjalanan dilakukan dalam jarak dekat. Sebagian porsi perjalanan jarak dekat ini seharusnya merupakan ‘jatah’ perjalanan dengan berjalan kaki atau bersepeda. Kuatnya persaingan dari kendaraan pribadi terutama sepeda motor menyebabkan opsi berjalan kaki dan bersepeda menjadi pilihan yang tidak populer.

Kampus seperti halnya kampus UGM yang merupakan kampus terbuka (dalam konteks akses) merupakan miniatur kota dalam skala dan magnitude permasalahan yang lebih kecil. Data menunjukkan bahwa pergerakan internal dalam kampus 64% dilakukan dengan sepeda motor dengan porsi berjalan kaki dan bersepeda dibawah 20%. Sebagai sebuah wilayah pendidikan, seyogyanya lingkungan yang mendukung adalah lingkungan yang menyediakan keamanan, keselamatan, kenyamanan, udara yang bersih, berskala manusia yang hanya bisa dicapai jika pejalan kaki dan bersepeda diberikan prioritas yang lebih tinggi dibandingkan moda yang lain. Ukuran kampus UGM sendiri terlalu besar untuk berjalan kaki dan terlalu kecil untuk kendaraan bermotor, sehingga pilihan untuk menempatkan bersepeda menjadi transportasi unggulan menjadi sangat logis.

Hal tersebut disadari oleh banyak pihak sehingga Sepeda Hijau sebagai salah satu langkah dapat diimplementasikan dengan dukungan yang kuat. Diinisiasi oleh Pusat Studi Pariwisata UGM pada tahun 2005, didukung oleh PUSTRAL dan Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH), pada perkembangannya juga didukung oleh 4 kampus yang berdekatan dengan UGM yaitu UNY, UAJY, UII dan USD. Untuk UGM sendiri, dengan armada 183 sepeda yang dapat dipakai gratis dan ditempatkan pada unit-unit penempatan (41 unit), pada perkembangannya menunjukkan kecenderungan yang tidak menggembirakan. Data 2006-2008 menunjukkan bahwa tingkat penggunaan SH mengalami penurunan yang antara 10-15% per tahun. Rata-rata utilisasi pada unit penempatan sepeda paling produktif menunjukkan hanya 1 kali pemakaian setiap hari, sedangkan ditempat lain hanya rata-rata 1 pemakaian setiap 5 hari atau lebih. Dibandingkan jumlah armada, angka utilisasi ini sangat kecil. Beberapa permasalahan yang menyebabkan hal ini adalah belum adanya kebijakan yang memperkuat SH ini misalnya pembatasan/pengaturan lalu lintas bermotor dalam kampus, belum adanya pengelola yang didedikasikan untuk mengelola SH, masih rancunya aturan ‘dipakai untuk semua’ atau ‘dipakai untuk unit penempatan’, perletakan sepeda tidak pada lokasi dengan demand yang besar sehingga sulit dijangkau pemakai umum, serta belum adanya kesinambungan pendanaan untuk kestabilan pengelolaan.

Dalam seminar ini dilontarkan gagasan untuk kembali memperkuat konsep bike sharing yang pada awalnya dianut oleh SH. Konsep ini mempunyai keunggulan bahwa pengguna tidak perlu mempunyai sepeda sendiri sehingga tidak ada kekhawatiran akan kehilangan aset, sepeda dapat disebar ditempat-tempat yang terjangkau dan terlihat – bisa diletakkan terintegrasi dengan fasilitas angkutan umum atau parkir, semua dengan biaya yang terjangkau bahkan gratis. Kelemahan utama dari konsep ini adalah aspek keamanan sepeda dari pencurian dan perusakan. Penggunaan sepeda yang heavy duty, desain unik yang tidak mudah dijual dan digunakan kembali, dan pengguna harus menjadi member adalah ide yang dapat dikaji lebih lanjut kelayakannya. Aspek yang sangat penting dari penguatan konsep bike sharing ini adalah pengelola yang secara profesional didedikasikan untuk mengurusi sepeda ini. Pengguna tidak perlu khawatir terjadi kerusakan atau ban kempes di tengah jalan karena dengan hotline, pengelola akan mengirim sepeda pengganti dan montir untuk memperbaiki sepeda yang digunakan. Kampus juga harus menyediakan jalur-jalur sepeda, baik yang dibuatkan mengambil sebagian ruang jalan atau yang menggunakan jalan-jalan tembus, share dengan pejalan kaki.

Dalam konteks kampus ide diatas dapat dijalankan tapi penting diingat bahwa SH tidak akan bisa berjalan sendiri, harus ada kebijakan mendukung dari pengelola kampus.