|
||
|
||
ROAD PRICING: Suatu Upaya Membela Masyarakat Dalam Menghadapi Kelangkaan Energi dan Ruang Kota
Kompetisi penggunaan ruang dan energi Sektor transportasi (terutama dalam aspek penggunaan kendaraan bermotor pribadi) sebagai salah satu sektor yang berkompetisi, secara nyata telah menampilkan dominasinya dalam beberapa tahun terakhir. Jika diperbandingkan antara pejalan kaki, sepeda motor dan mobil, dalam satu menitnya terdapat perbedaan penggunaan ruang yang sangat besar. Seorang pejalan kaki menggunakan hanya 30 m2 saja ruang untuk bergerak selama 1 menit, sebuah sepeda motor menggunakan 990 m2 ruang untuk bergerak dalam waktu 1 menit dengan kecepatan rata-rata 30 menit, sedangkan dengan kecepatan yang sama sebuah mobil menggunakan ruang 5.400 m2 ruang untuk bergerak dalam waktu 1 menit.Selama penggunaan 1 menit tersebut, pejalan kaki menggunakan 15 KJ energi, sepeda motor menggunakan 679 KJ dan mobil 1.013 KJ. Dilihat dari sumber energinya, saat ini sepeda motor dan mobil menggunakan energi fosil berupa bensin atau solar. Pembakaran energi tersebut menghasilkan emisi yang merupakan salah satu penyebab terjadinya beberapa penyakit. Dampak langsung dari dominasi ini adalah besarnya biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat baik pengguna jalan sendiri maupun masyarakat non pengguna jalan. Dari perhitungan Pustral UGM (2005), setiap tahunnya setiap orang di Kota Yogyakarta harus mengeluarkan rata-rata hampir Rp. 180.000 untuk biaya kesehatan akibat dampak lalu lintas berupa polusi, sementara di sisi lain, biaya yang harus dikeluarkan pada jam puncak harian untuk melakukan perjalanan di seluruh kota adalah rata-rata Rp. 750.000 atau rata-rata Rp. 270 milyar pertahun. Biaya ini luar biasa besar jika mengingat besarnya anggaran pembangunan pemerintah daerah kota yang hanya berada pada kisaran 400-500 milyar pertahun. Melambungnya harga bahan bakar adalah suatu indikator bahwa kemampuan persediaan energi semakin tidak mampu mencukupi besarnya permintaan. Dengan logika yang sama mekanisme ini seharusnya bisa dilakukan dalam mengatasi keterbatasan ruang kota. Kita bisa menyaksikan bahwa kemacetan di pusat-pusat tujuan pergerakan (biasanya merupakan pusat kota) adalah hal yang semakin menjadi biasa. Ruang-ruang tujuan pergerakan adalah ruang-ruang dengan demand yang tinggi, dan luasan terbatas, sehingga pengenaan harga yang berbeda dibandingkan ruang yang lain yang bukan merupakan tujuan pergerakan adalah sesuatu yang bisa dipahami seperti halnya mekanisme harga bahan bakar. Menejemen perjalanan Di sisi lain, fokus kita selama ini pada peningkatan kapasitas suplai telah menjadi ‘lingkaran setan’ dalam penataan transportasi. Sebagai ilustrasi, pelebaran jalan sebagai upaya mengatasi kemacetan ternyata merupakan insentif yang sangat besar bagi timbulnya kemacetan berikutnya. Sementara di sisi yang lain, ada satu titik dimana kapasitas jalan tidak mungkin dikembangkan lagi karena keterbatasan ruang. Kondisi seperti ini dapat juga ditemui pada kasus energi melalui peningkatan suplai bahan bakar untuk kendaraan. Tidak heran, saat ini energi telah menjadi barang yang sangat mahal dikarenakan ketersediaan yang ada semakin tidak mampu memenuhi kebutuhan yang semakin meningkat. Dari kondisi ini, kesadaran untuk mulai melakukan manajemen terhadap perjalanan perlu ditingkatkan. Dapat dikatakan, fokus pada transport demand management ini merupakan kata kunci di masa datang dalam menghadapi kondisi semakin sulitnya aspek ruang dan energi dalam transportasi. Road pricing Road pricing adalah salah satu strategi transport demand management yang dapat dilakukan dalam rangka melakukan manajemen terhadap perjalanan. Tujuan pelaksanaan road pricing adalah merasionalkan penggunaan jalan dengan instrumen membayar dengan mengarahkan pengguna kendaraan bermotor yang tidak ingin membayar untuk merubah rute perjalanan atau waktu perjalanannya. Secara umum hasil dari rasionalisasi pengguna jalan ini adalah penghematan-penghematan dalam skala kota seperti diuraikan diatas, sekaligus memberi kesempatan kepada kawasan kutipan untuk memperkaya ruang akibat menurunnya jumlah pengguna. Argumen yang melatarbelakang pelaksanaan road pricing adalah bahwa pada tempat-tempat tertentu dengan nilai ekonomi yang lebih tinggi, maka nilai penggunaan lahan juga seharusnya lebih tinggi. Dalam kasus Kota Yogyakarta, kawasan Malioboro adalah kawasan dengan nilai ekonomi yang lebih tinggi ketimbang kawasan lain, sehingga pengguna kendaraan yang menggunakan kawasan Malioboro dimungkinkan untuk membayar sebagai akibat dari penggunaan ruangnya. Pricing ini dapat dilakukan dengan berbagai metode yang ada sesuai kondisi kawasan. Biasanya sistem ini memberikan pengecualian kepada pengguna lokal (dalam bentuk diskon yang sangat besar yang bisa mencapai 100% alias gratis) dan pengguna khusus (pemadam kebakaran, ambulans, polisi, protokoler dan pengguna khusus lainnya). Berdasarkan kajian Pustral UGM (2005), dampak yang timbul akibat penerapan road pricing adalah meningkatnya kecepatan rata-rata perjalanan dari 22 km/jam menjadi 24 km/jam. Di samping itu dapat pula ditekan biaya akibat polusi dan kemacetan sebesar rata-rata 18-20% per tahun dan penghematan biaya perjalanan (dalam bentuk biaya operasional kendaraan) sebesar rata-rata 19% per tahun. Secara umum, strategi ini adalah strategi yang berpihak kepada masyarakat karena penghematan-penghematan akibat pengurangan jumlah perjalanan itu secara tidak langsung merupakan penghematan yang dilakukan oleh masyarakat. Dalam proses menuju implementasi, hasil kajian road pricing diatas masih memerlukan strategi implementasi yang lebih rinci termasuk diantaranya proses-proses konsultasi publik yang berkesinambungan. Dan perlu juga dipahami bahwa strategi ini bukanlah merupakan satu-satunya pilihan solusi bagi penyelesaian permasalahan transportasi dan harus dilakukan bersama-sama dengan strategi yang lain seperti penyediaan angkutan umum, penataan transportasi alternatif berupa kendaraan tidak bermotor dan pejalan kaki, maupun penataan tata ruang kota. [ kembali ] |
HOME
About Pustral
|
||
|
|||